Sabtu, 06 Juni 2009

how to say it.....??

MENGUPIL DIBAWAH POHON

Kalau ada pertandingan perempuan goblok sedunia tentang urusan laki-laki, aku yakin akulah yang bakal menang. It’s only me. Diariku sudah capek dan mual dengar cerita yang sama dariku. Cerita yang dimulai dengan cara yang sama, dan pastinya akan berakhir dengan cara yang sama. Dan yang paling parah, adalah durasi waktu yang kurang lebih hampir sama.

Minggu lalu, seperti orang-orang bilang, I was completely in love. Aku merasa menjadi perempuan paling bahagia sedunia karna telah menemukan orang yang aku cari-cari. Orang yang akan berbagi kebahagiaan dan kesedihan selama sisa hidupku. Orang yang bisa membuatku tertawa. Pendeknya aku merasa telah menemukan pohon rindang yang dibawahnya aku bisa berteduh dengan tenang, bisa beristirahat dan bersantai (bahkan sambil ngupil tanpa memperdulikan image, -mengutip redaksi si pelaku) . Sebelum ini, hari-hariku diupenuhi dengan keinginan bagaimana membahagiakan dia. Memikirkan apa yang akan kulakukan dengannya nanti, mengiriminya lagu-lagu cinta yang mewakili perasaanku. (Ya ampun aku malu sekali mengingat itu, aku merasa bego, dan yang paling parahnya aku malu dengan bahasaku sendiri menceritakan ini, karena kelihatanya aku benar-benar naïf, tapi mau bilang apa, memang itu yang aku rasakan. Aku telah merendahkan logika dan kecerdasan yang Tuhan berikan padaku. Aku tidak mengerti apa penjelasan ilmiah yang bisa mengubah karakterku dalam hal “cemen” begini. Yah, bisa dikatakan menoleh kebelakang, aku adalah orang yang benar-benar di manipulasi oleh sebuah kepentingan keisengan makhluk yang bernama laki-laki.

Aku heran bagaimana bisa terjebak dalam situasi begitu. Aku heran dimana semua pemahanku tentang sifat alamiah laki-laki yang aku dapatkan dari penelahaan buku. Buku-buku best seller yang menjelaskan cara kerja otak laki-laki dan bagaimana mereka memandang cinta, komitmen dan seks. Aku belajar banyak dari buku-buku itu. Tapi tetap saja aku membuat kesalahan. Seharusnya penulisnya membuat semacam sertifikat lulus yang diberikan pada pembaca yang melewati tes dengan menerapkan teori yang dipaparkan. Aku nggak terlalu yakin kalau aku bisa. Bisa dikatakan aku memang bego. Mana ada orang yang bisa jatuh di lobang yang sama dua kali. Aku sih nggak cuma jatuh dua kali, tapi terperosok berkali-kali. Parah! Penyakit akut sepertinya.

Sekarang bagaimana? Keadaanku sekarang hancur lagi. Well, kali ini prosesnya agak berbeda. Kalau yang kemaren-kemaren si pelaku menghilang atau tiba-tiba tidak berkeinginan untuk berkomunkasi denganku, dan aku bertanya-tanya sambil menyesali diri atas apa yang aku lakukan, maka sekarang prosesnya istimewa. Tiba-tiba, tengah malam, sms-nya datang dan mengatakan bahwa dia tidak akan menghubungi lagi, karena selama ini dia hanya main-main atau kasarnya, ISENG denganku. Deg! Aku terdiam. Berpikir sebentar. Dan tersenyum. Apa lagi yang bisa aku lakukan? Terlalu sakit untuk menangis. Aku telpon, tapi dicuekin. Aku sms dia dan memintanya mengatakan langsung, sambil berjanji bahwa aku tidak akan menangis. Aku bilang bahwa, aku adalah cewek dewasa yang tidak akan terbawa perasaan menghadapi masalah seperti ini. Well, dia nelpon. Dan aku memang tidak menangis. Malahan tertawa, dan meminta kritik dan saran darinya. SINTING! Itu adalah akting terbaik yang bisa aku mainkan malam itu. Kami berbicara sebentar, dan berakhir karna pulsanya habis. Tapi aku masih sempat memuji dia dalam pembicaraan kami dan dalam sms terakhirku padanya.

Berakhir sudah. Terlalu indah dan singkat. Tapi aku menikmatinya. Kalaupun aku sakit dikesudahannya, itu wajar menurutku. Sekarang masalahnya ada dikepalaku. Bagi dia ini sudah berakhir. Aku pun harus berpikir begitu. Disinilah permainan sebenarnya dimulai. Di tahap dimana aku menenangkan perasaanku, dan menghardiknya dengan suara-suara yang ada dikepalaku. Apa sih?? Ga penting banget mikirin masalah cemen kaya begini. Ayolah, enjoy your life! Emangnya kalau kamu nangis, dia bakal balik ke kamu? GA BAKAL! Come on, wake up, and grab other chances in your life.

Aku tidak akan menyesali apa yang aku lakukan dan lewati. Rasa sakit, dicintai, dipermainkan, semua itu tidak akan mengalahkan aku. Semua proses ini, yang indah ataupun yang buruk, aku yakini memperkaya batinku. Memperkaya pengalamanku.. dan memetik pelajaran? WAIT!! Memetik pelajaran?, sepertinya tidak! Tapi, untuk urusan ini, aku yakin aku tidak sendirian. Tidak cuma aku, perempuan yang tidak memetik pelajaran dari penderitaan yang diakibatkan CINTA. Sepertinya aku tidak pernah belajar, untuk tidak membuat keasalahan yang sama. Tapi aku tau, kesalahanku, terlalu tolol untuk mempercayai ucapan-ucapan gombal yang membahagiakan aku pada saat itu. Apa salah? Apa ada orang yang bisa menyangkal dan menolak rasa bahagia itu? Kalau ada aku ingin berguru padanya. Tapi aku pikir lagi? Untuk apa? Aku tidak harus menutup diriku dari kesempatan untuk bertemu pohon yang bisa menaungiku. Pohon yang tidak akan berlari, atau dipagari. Pohon yang bisa membuatku aman dan tentram. Aku tidak punya alasan untuk melakukan itu. Aku percaya, bahwa jika seandainya aku berhenti tersenyum, berhenti bermain, dan memasang pertaruhan dan mengambil resiko dalam perjudian ini, maka sebenarnya aku benar-benar telah dikalahkan TELAK oleh pohon yang berkaki itu. Aku tidak akan membiarkan sebatang pohon mengalahkan aku. Aku harus menang!

TERKIKIS

Busuk pasar ini benar-benar mengusik indra penciumanku. Tapi aku tidak mengerti, bagaimana bisa orang-orang ini bisa berlama-lama menghabiskan waktunya ditempat terkutuk ini. Entah apa yang membuat mereka betah. Aku tidak ingin mencari tahu kenapa. Aku hanya ingin segera meninggalkan tempat ini. Sesegera mungkin!

Pasar ini, aku pikir, memang mengundang orang-orang datang. Lambaian bahan kain tipis mencolok mata yang ditiup angin, tampak seperti gadis-gadis cantik. Gadis-gadis kemayu yang sangat kepingin dibelai-belai dan dibawa pulang untuk dikenakan oleh pembelinya. Dan pastinya nanti akan dibangga-banggakan dan dianggap sangat pantas dikenakan oleh pemakainya, walau kenyataanya dia akan terlihat lebih baik lagi kalau seandainya dia pandai memilih gadis kemayu yang cocok dengannya.

Belum lagi teriakan abang-abang yang menawarkan jam tangan aspal dari merk-merk terkenal. Herannya semua orang tahu kalau jam tangan yang ditawarkan adalah barang palsu yang tidak sepantasnya dibanggakan, tapi tetap saja dibanggakan oleh om-om dan tante-tante yang mematutnya. Memang aneh. Dan herannya tidak ada yang protes kalau si abang-abang mempromosikan barangnya dengan kebohongan public yang maha gombal. Orang-orang sudah terlanjur menjadi permisif dengan mengingat iklan TV yang jauh lebih berani melakukan pembohongan public demi keuntungan yang jauh lebih besar. Apa tidak ada pengadilan atau perangkat hukum untuk menuntut abang atau pembuat iklan sampo yang memakai artis yang terlihat memiliki rambut panjang paling indah sedunia, sedangkan seluruh dunia tahu rambut aslinya seperti apa? Entahlah!

Tengok lagi ke bagian pengganjal perut. Super kumuh minta ampun. Kalau seandainya nyonya dan tuan tahu bagaimana bentuk awal makanan lezat yang tetap tidak mengundang selera makan mereka berasal, mungkin akan mati karena terus-terusan kehilangan selera makan. Apa kekumuhan ini yang menyebabkan tuan dan nyonya yang sedikit agak berduit lebih memilih memilah-milah asupan perut mereka di pasar swalayan yang lebih nyaman? Entahlah? Bagaimana bisa pasar swalayan meloncati bagain kotor ini dan langsung tampil dengan elegan? Entahlah!

Aku bosan. Aku tidak ingin memikirkanya. Aku hanya ingin segera meninggalkan pasar ini. Tempat yang tidak teratur ini, tempat yang memang tidak ada aturanya. Aku harus mencari jalan keluar. Dimana? Aku tidak bisa melihat jalan keluarnya. Aku benar-benar melakukan kesalahan dengan berada ditempat ini. Tapi siapa yang tidak melakukan kesalahan? Kalaupun ada, pasti itu bukan manusia. Dan aku adalah manusia, jadi aku berbuat salah, yaitu terdampar dipasar ini. Aku yakin aku tidak sendiri. Aku yakin banyak manusia lain yang senang terlihat seperti mampu membeli dengan sekedar melihat-lihat barang yang dipajang. Terkesan seperti sedang menggenggan kekuatan adikuasa dimuka bumi.

Aku terus berjalan keluar. Mencari jalan keluar. Hari semakin senja. Dari kejauhan aku bisa melihat horizon yang berubah menjadi jingga. Langit seperti akan menumpahkan airmata. Bumi serasa menipis. Inti bumi serasa semakin mendekati permukaan bumi.

Atmosfer seperti tidak bisa lagi menjalankan tugasnya. Aku heran, bagaimana bisa orang-orang ini tidak merasakannya? Apakah mereka punya pendingin badan yang tersimpan dalam pakaianya?

Ah! Aku tidak mau memikirkannya. Aku harus keluar! Oh, itu jalan keluarnya. Orang-orang sudah tidak seramai bagian tadi. Aku melihat gubuk. Aku ingin istirahat disana. Mendekati gubuk itu aku mencium bau yang tidak mengenakkan. Bau yang jauh lebih mengaduk dari apa yang kudapati di pasar tadi. Bau busuk apa ini? Ya tuhan! Apakah itu? Apakah seonggok daging itu? Sepertinya ada tangan-tangan kecilnya. Sepertinya ada jari-jarinya. Ada kepala yang sedikit rambutnya. Ukuran onggokan itu tidak terlalu besar. Mungkin jika aku melihatnya dalam keadaan yang berbeda mungkin aku akan segera mendekati onggokan ini, mencium aroma harum dari mulutnya, menggilitik kaki lucunya, mengusap rambut, dan menyentuhya dengan sangat hati-hati. Tapi sekarang, aku tidak bisa tetap tinggal disini dan melakukan hal-hal indah itu. Aku tidak bisa! Onggokan ini sangat mengerikan! Aku tidak kuat! Onggokan hitam kecil dan terkelupas ini tidak boleh terus ada dalam penglihatanku. Aku tidak kuat membayangkan apa yang telah dilaluinya!

Aku berjalan. Aku harus berjalan dengan tenang. Aku tidak ingin mengundang perhatikan orang. Aku tidak melihat apa pun. Mungkin tadi aku hanya berkhayal. Onggokan tadi tidak nyata. Aku harus segera meninggalkan tempat busuk ini.

Aku terus berjalan dan berusaha melupakan khayalanku tadi.

Tapi apalagi ini? Benda apa yang menahan langkahku? Aku harap aku tidak punya indra ini, demi melihat apa yang menahan langkahku! Seonggok kuning kemerah-merahan, yang pucat lemah. Onngokan ini bermata sembab dan bibir yang membiru. Mugkin saja seperampat hari ini, dia telah meneriakkan suara lemahnya dijalanan ini. Tentu saja tidak ada yang akan mendengarnya. Semua orang sibuk. Manusia-manusia sekarang mempunyai waktu yang terlalu mahal untuk sekedar dihabiskan menengok suara-suara lemah yang diteriakkan onggokan kuning kemerah-merahan ini. Tangan kecilnya menggapai-gapai lemah kearahku. Matanya mengemis bantuanku. Tapi tanganku terlalu kaku untuk meraih tubuh kecil itu. Badanku terlalu berat digerakkan untuk mendekatinya. Pikiranku terlalu dangkal untuk berbuat sesuatu menyelamatkannya. Pundakku terlalu berat dengan beban hidup untuk membungkuk dan meraihnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak ingin berbuat apa-apa. Aku hanya ingin segera pergi. Aku hanya ingin kembali kerumahku dan meninggalkan tempat terkutuk ini. Aku tidak mengerti apa yang harus aku lakukan. Entahlah!

Aku berlari kali ini. Aku tidak ingin mendengar suara onggokan tadi. Aku tidak ingin dia menertawakan ketidak-berdayaanku. Aku hanya ingin melupakannya. Menghapusnya dari memori otakku. Mengeyahkan teriakanya dari kalbuku. Mengontrol perasaanku. Mendiamkan nuraniku. Hanya itu yang ingin aku lakukan. Aku hanya ingin kembali kerumahku dan berjanji tidak akan pernah kembali ke pasar kotor tadi. Aku menyesalkan kesialanku karena harus menyaksikan pemandanngan tadi. Aku harus segara pulang!

Dalam cepatnya langkahku-hampir setengah berlari, di sepanjang perjalanan pulang. Seperti gambar-gambar yang ditayangkan dengan cepat ke mataku, aku melihat silih berganti dengan gerakan cepat sosok-sosok kecil datang silih berganti. Sosok yang terbungkus kain, sosok telanjang mengkerut karena terlalu lama di air, sosok hitam kecil yang terbakar. Mereka semua seperti seonggok daging tanpa arti. Mereka adalah wajah-wajah datar tanpa ekspresi, onggokan tanpa nama dan pemilik. Mereka adalah sampah yang diturunkan dari langit. Bukan penduduk bumi yang bertanggung-jawab terhadap onggokan-onggokan itu. Bukan! Mereka tidak berhak mengusik ku. Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya ingin kembali pulang.

Aku berlari. Langit sudah lama gelap. Aku tidak lagi merasakan perubahan. Tubuh, pikiran dan perasaanku sudah terlanjur kebas. Aku tidak merasakan apa-apa lagi.aku tidak ingin merasakan apa-apa.

Dari kejauhan aku bisa melihat rumahku. Aku akan beristirahat tenang disana. Tidak akan ada lagi onggokan-onggokan itu. Tidak akan ada lagi wajah-wajah datar yang berteriak padaku. Yang ada hanya rumahku yang nyaman. Rumahku yang terletak di tepi tebing. Rumahku yang berhalaman luas dan terurus baik. Bahkan dari dalam rumahku yang nyaman itu, aku selalu bisa mendengar suara air sungai yang mengalir tenang. Benar-benar memberikan kedamaian. Aku merindukannya.

Perasaan itu memberi tenaga untuk terus berlari. Akhirnya aku sampai juga!

Bercengkrama dengan isi rumahku dan Ibuku. Aku tidak melihat Ayah. Kemana dia? Enathlah. Mungkin sedang ada urusan. Biasalah. Nyaris aku melupakan apa yang telah aku lalui. Demi melihat apa yang ada dihalaman depanku, kaki ku seperti terseret keluar. Mataku terpaku pada sebuah nisan baru. Aneh. Aku mencoba mengingat sejak kapan dihalaman rumah kami yang asri ini ada orang yang berani memancangkan nisan. Sinar seperti tidak mengerti apa yang aku pikirkan. Lidahku terlalu kelu untuk menanyakannya. Aku hanya melihat seolah-olah Ibu tidak menganggap itu aneh. Ibu nyaman-nyaman saja dengan nisan kecil ini. Siapa yang berbaring dibawahnya? Atau tidak ada siapa-siapa? Atau nisan ini hanya hiasan taman saja? Sepertinya begitu. Aku lebih suka berpikir begitu. Aku tidak ingin berpikir macam-macam.

Langit semakin gelap. Bukan karena malam. Tapi akan turun hujan. Langit menunjukan kemarahan dan kekuasaannya. Petir dan kilat bersahut-sahut. Awan tidak kuat lagi menahan beban yang telah ditanggungnya sedari tadi. Awan bersiap-siap memuntahkan semuanya. Awan tidak sudi lagi mengandung uap-uap ini. Harus segera dikeluarkan. Langit memerintahkan awan membasuh kotoran yang melekat di muka bumi. Muntahan awan membuat keadaan berbeda. Daun-daun kembali ke hijau aslinya. Tanah merapatkan rengganganya.

Sungai menambah isinya mengikis tebing. Tanah terguras. Menyemburatkan apa yang tersembunyi didalamnya. Seketika, arus membebaskan onggokan-onggokan daging yang tersimpan didalamnya. Sungai memperlihatkan apa yang telah ditelan paksa bumi selama ini. Tubuh-tubuh kecil yang tidak seharusnya ada disitu. Tubuh-tubuh itu memenuhi sungai seperti ikan yang siap dipanen. Sinar rembulan yang terang seperti lampu sorot yang mengizinkan aku menyaksikan semua itu. Aku berteriak. Meminta perhatian semua orang. Aku tidak ingin menyaksikan ini sendiri. Aku tidak ingin menanggungnya sendiri. Orang-orang harus menyaksikan ini.

Aku melihat sekeliling. Ternyata aku tidak sendirian. Mereka berdiri termangu berdiri disisi tebing menyaksikan arus membawa tubuh-tubuh kecil itu. Mereka sama dengan aku. Mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka hanya berdiri terdiam. Sebagian ada yang menutupi muka. Sebagian ada yang berpaling, sebagian ada yang melengos pergi, dan ada yang tidak menunjukan ekspresi sama sekali. Aku bingung.

Aku semakin panik. Arus semakin kuat. Semakin mengikis tebing. Tidak ada lagi yang akan dikeluarkan arus dari perut bumi. Semakin lama mengikis arus semakin menipiskan tebing. Ah rumahku! Tanah tempat rumahku yang indah berdiri terus terguras arus sungai. Aku bisa melihat rumahku roboh, jatuh sedikit demi sedikit ke sungai. Rembulan membantuku melihat semuanya dengan jelas. Hujan membuatku kedinginan. Kali ini aku berteriak untuk diriku sendir. Tapi hujan dan petir mengalahkan teriakanku. Tidak akan ada yang mendengar. Kalaupun mereka mendengar, apa yang akan mereka lakukan? Entahlah! Aku tidak tahu. Aku tidak ingin berpikir apa-apa. Aku hanya bisa melihat sungai mengikis semuanya.