Sabtu, 06 Juni 2009

TERKIKIS

Busuk pasar ini benar-benar mengusik indra penciumanku. Tapi aku tidak mengerti, bagaimana bisa orang-orang ini bisa berlama-lama menghabiskan waktunya ditempat terkutuk ini. Entah apa yang membuat mereka betah. Aku tidak ingin mencari tahu kenapa. Aku hanya ingin segera meninggalkan tempat ini. Sesegera mungkin!

Pasar ini, aku pikir, memang mengundang orang-orang datang. Lambaian bahan kain tipis mencolok mata yang ditiup angin, tampak seperti gadis-gadis cantik. Gadis-gadis kemayu yang sangat kepingin dibelai-belai dan dibawa pulang untuk dikenakan oleh pembelinya. Dan pastinya nanti akan dibangga-banggakan dan dianggap sangat pantas dikenakan oleh pemakainya, walau kenyataanya dia akan terlihat lebih baik lagi kalau seandainya dia pandai memilih gadis kemayu yang cocok dengannya.

Belum lagi teriakan abang-abang yang menawarkan jam tangan aspal dari merk-merk terkenal. Herannya semua orang tahu kalau jam tangan yang ditawarkan adalah barang palsu yang tidak sepantasnya dibanggakan, tapi tetap saja dibanggakan oleh om-om dan tante-tante yang mematutnya. Memang aneh. Dan herannya tidak ada yang protes kalau si abang-abang mempromosikan barangnya dengan kebohongan public yang maha gombal. Orang-orang sudah terlanjur menjadi permisif dengan mengingat iklan TV yang jauh lebih berani melakukan pembohongan public demi keuntungan yang jauh lebih besar. Apa tidak ada pengadilan atau perangkat hukum untuk menuntut abang atau pembuat iklan sampo yang memakai artis yang terlihat memiliki rambut panjang paling indah sedunia, sedangkan seluruh dunia tahu rambut aslinya seperti apa? Entahlah!

Tengok lagi ke bagian pengganjal perut. Super kumuh minta ampun. Kalau seandainya nyonya dan tuan tahu bagaimana bentuk awal makanan lezat yang tetap tidak mengundang selera makan mereka berasal, mungkin akan mati karena terus-terusan kehilangan selera makan. Apa kekumuhan ini yang menyebabkan tuan dan nyonya yang sedikit agak berduit lebih memilih memilah-milah asupan perut mereka di pasar swalayan yang lebih nyaman? Entahlah? Bagaimana bisa pasar swalayan meloncati bagain kotor ini dan langsung tampil dengan elegan? Entahlah!

Aku bosan. Aku tidak ingin memikirkanya. Aku hanya ingin segera meninggalkan pasar ini. Tempat yang tidak teratur ini, tempat yang memang tidak ada aturanya. Aku harus mencari jalan keluar. Dimana? Aku tidak bisa melihat jalan keluarnya. Aku benar-benar melakukan kesalahan dengan berada ditempat ini. Tapi siapa yang tidak melakukan kesalahan? Kalaupun ada, pasti itu bukan manusia. Dan aku adalah manusia, jadi aku berbuat salah, yaitu terdampar dipasar ini. Aku yakin aku tidak sendiri. Aku yakin banyak manusia lain yang senang terlihat seperti mampu membeli dengan sekedar melihat-lihat barang yang dipajang. Terkesan seperti sedang menggenggan kekuatan adikuasa dimuka bumi.

Aku terus berjalan keluar. Mencari jalan keluar. Hari semakin senja. Dari kejauhan aku bisa melihat horizon yang berubah menjadi jingga. Langit seperti akan menumpahkan airmata. Bumi serasa menipis. Inti bumi serasa semakin mendekati permukaan bumi.

Atmosfer seperti tidak bisa lagi menjalankan tugasnya. Aku heran, bagaimana bisa orang-orang ini tidak merasakannya? Apakah mereka punya pendingin badan yang tersimpan dalam pakaianya?

Ah! Aku tidak mau memikirkannya. Aku harus keluar! Oh, itu jalan keluarnya. Orang-orang sudah tidak seramai bagian tadi. Aku melihat gubuk. Aku ingin istirahat disana. Mendekati gubuk itu aku mencium bau yang tidak mengenakkan. Bau yang jauh lebih mengaduk dari apa yang kudapati di pasar tadi. Bau busuk apa ini? Ya tuhan! Apakah itu? Apakah seonggok daging itu? Sepertinya ada tangan-tangan kecilnya. Sepertinya ada jari-jarinya. Ada kepala yang sedikit rambutnya. Ukuran onggokan itu tidak terlalu besar. Mungkin jika aku melihatnya dalam keadaan yang berbeda mungkin aku akan segera mendekati onggokan ini, mencium aroma harum dari mulutnya, menggilitik kaki lucunya, mengusap rambut, dan menyentuhya dengan sangat hati-hati. Tapi sekarang, aku tidak bisa tetap tinggal disini dan melakukan hal-hal indah itu. Aku tidak bisa! Onggokan ini sangat mengerikan! Aku tidak kuat! Onggokan hitam kecil dan terkelupas ini tidak boleh terus ada dalam penglihatanku. Aku tidak kuat membayangkan apa yang telah dilaluinya!

Aku berjalan. Aku harus berjalan dengan tenang. Aku tidak ingin mengundang perhatikan orang. Aku tidak melihat apa pun. Mungkin tadi aku hanya berkhayal. Onggokan tadi tidak nyata. Aku harus segera meninggalkan tempat busuk ini.

Aku terus berjalan dan berusaha melupakan khayalanku tadi.

Tapi apalagi ini? Benda apa yang menahan langkahku? Aku harap aku tidak punya indra ini, demi melihat apa yang menahan langkahku! Seonggok kuning kemerah-merahan, yang pucat lemah. Onngokan ini bermata sembab dan bibir yang membiru. Mugkin saja seperampat hari ini, dia telah meneriakkan suara lemahnya dijalanan ini. Tentu saja tidak ada yang akan mendengarnya. Semua orang sibuk. Manusia-manusia sekarang mempunyai waktu yang terlalu mahal untuk sekedar dihabiskan menengok suara-suara lemah yang diteriakkan onggokan kuning kemerah-merahan ini. Tangan kecilnya menggapai-gapai lemah kearahku. Matanya mengemis bantuanku. Tapi tanganku terlalu kaku untuk meraih tubuh kecil itu. Badanku terlalu berat digerakkan untuk mendekatinya. Pikiranku terlalu dangkal untuk berbuat sesuatu menyelamatkannya. Pundakku terlalu berat dengan beban hidup untuk membungkuk dan meraihnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak ingin berbuat apa-apa. Aku hanya ingin segera pergi. Aku hanya ingin kembali kerumahku dan meninggalkan tempat terkutuk ini. Aku tidak mengerti apa yang harus aku lakukan. Entahlah!

Aku berlari kali ini. Aku tidak ingin mendengar suara onggokan tadi. Aku tidak ingin dia menertawakan ketidak-berdayaanku. Aku hanya ingin melupakannya. Menghapusnya dari memori otakku. Mengeyahkan teriakanya dari kalbuku. Mengontrol perasaanku. Mendiamkan nuraniku. Hanya itu yang ingin aku lakukan. Aku hanya ingin kembali kerumahku dan berjanji tidak akan pernah kembali ke pasar kotor tadi. Aku menyesalkan kesialanku karena harus menyaksikan pemandanngan tadi. Aku harus segara pulang!

Dalam cepatnya langkahku-hampir setengah berlari, di sepanjang perjalanan pulang. Seperti gambar-gambar yang ditayangkan dengan cepat ke mataku, aku melihat silih berganti dengan gerakan cepat sosok-sosok kecil datang silih berganti. Sosok yang terbungkus kain, sosok telanjang mengkerut karena terlalu lama di air, sosok hitam kecil yang terbakar. Mereka semua seperti seonggok daging tanpa arti. Mereka adalah wajah-wajah datar tanpa ekspresi, onggokan tanpa nama dan pemilik. Mereka adalah sampah yang diturunkan dari langit. Bukan penduduk bumi yang bertanggung-jawab terhadap onggokan-onggokan itu. Bukan! Mereka tidak berhak mengusik ku. Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya ingin kembali pulang.

Aku berlari. Langit sudah lama gelap. Aku tidak lagi merasakan perubahan. Tubuh, pikiran dan perasaanku sudah terlanjur kebas. Aku tidak merasakan apa-apa lagi.aku tidak ingin merasakan apa-apa.

Dari kejauhan aku bisa melihat rumahku. Aku akan beristirahat tenang disana. Tidak akan ada lagi onggokan-onggokan itu. Tidak akan ada lagi wajah-wajah datar yang berteriak padaku. Yang ada hanya rumahku yang nyaman. Rumahku yang terletak di tepi tebing. Rumahku yang berhalaman luas dan terurus baik. Bahkan dari dalam rumahku yang nyaman itu, aku selalu bisa mendengar suara air sungai yang mengalir tenang. Benar-benar memberikan kedamaian. Aku merindukannya.

Perasaan itu memberi tenaga untuk terus berlari. Akhirnya aku sampai juga!

Bercengkrama dengan isi rumahku dan Ibuku. Aku tidak melihat Ayah. Kemana dia? Enathlah. Mungkin sedang ada urusan. Biasalah. Nyaris aku melupakan apa yang telah aku lalui. Demi melihat apa yang ada dihalaman depanku, kaki ku seperti terseret keluar. Mataku terpaku pada sebuah nisan baru. Aneh. Aku mencoba mengingat sejak kapan dihalaman rumah kami yang asri ini ada orang yang berani memancangkan nisan. Sinar seperti tidak mengerti apa yang aku pikirkan. Lidahku terlalu kelu untuk menanyakannya. Aku hanya melihat seolah-olah Ibu tidak menganggap itu aneh. Ibu nyaman-nyaman saja dengan nisan kecil ini. Siapa yang berbaring dibawahnya? Atau tidak ada siapa-siapa? Atau nisan ini hanya hiasan taman saja? Sepertinya begitu. Aku lebih suka berpikir begitu. Aku tidak ingin berpikir macam-macam.

Langit semakin gelap. Bukan karena malam. Tapi akan turun hujan. Langit menunjukan kemarahan dan kekuasaannya. Petir dan kilat bersahut-sahut. Awan tidak kuat lagi menahan beban yang telah ditanggungnya sedari tadi. Awan bersiap-siap memuntahkan semuanya. Awan tidak sudi lagi mengandung uap-uap ini. Harus segera dikeluarkan. Langit memerintahkan awan membasuh kotoran yang melekat di muka bumi. Muntahan awan membuat keadaan berbeda. Daun-daun kembali ke hijau aslinya. Tanah merapatkan rengganganya.

Sungai menambah isinya mengikis tebing. Tanah terguras. Menyemburatkan apa yang tersembunyi didalamnya. Seketika, arus membebaskan onggokan-onggokan daging yang tersimpan didalamnya. Sungai memperlihatkan apa yang telah ditelan paksa bumi selama ini. Tubuh-tubuh kecil yang tidak seharusnya ada disitu. Tubuh-tubuh itu memenuhi sungai seperti ikan yang siap dipanen. Sinar rembulan yang terang seperti lampu sorot yang mengizinkan aku menyaksikan semua itu. Aku berteriak. Meminta perhatian semua orang. Aku tidak ingin menyaksikan ini sendiri. Aku tidak ingin menanggungnya sendiri. Orang-orang harus menyaksikan ini.

Aku melihat sekeliling. Ternyata aku tidak sendirian. Mereka berdiri termangu berdiri disisi tebing menyaksikan arus membawa tubuh-tubuh kecil itu. Mereka sama dengan aku. Mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka hanya berdiri terdiam. Sebagian ada yang menutupi muka. Sebagian ada yang berpaling, sebagian ada yang melengos pergi, dan ada yang tidak menunjukan ekspresi sama sekali. Aku bingung.

Aku semakin panik. Arus semakin kuat. Semakin mengikis tebing. Tidak ada lagi yang akan dikeluarkan arus dari perut bumi. Semakin lama mengikis arus semakin menipiskan tebing. Ah rumahku! Tanah tempat rumahku yang indah berdiri terus terguras arus sungai. Aku bisa melihat rumahku roboh, jatuh sedikit demi sedikit ke sungai. Rembulan membantuku melihat semuanya dengan jelas. Hujan membuatku kedinginan. Kali ini aku berteriak untuk diriku sendir. Tapi hujan dan petir mengalahkan teriakanku. Tidak akan ada yang mendengar. Kalaupun mereka mendengar, apa yang akan mereka lakukan? Entahlah! Aku tidak tahu. Aku tidak ingin berpikir apa-apa. Aku hanya bisa melihat sungai mengikis semuanya.

Tidak ada komentar: